Dua puluh lima tahun usia provinsi, dua dekade kepemimpinan putra daerah berakhir di meja hijau sang pengadil. Maluku Utara, Provinsi yang lahir dari rahim reformasi menunjukkan keterbelakangan perilaku penguasa yang koruptif dan abai terhadap aspek pembangunan daerah.
Di lain sisi, karena provinsi ini menetas atas dasar dinamika hebat, secara inheren hendak memperlihatkan bahwa spirit reformasi yang membawa gema berantas KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) tetap menjadi hantu bagi gubernur yang setengah hati dalam memimpin.
Kini, gamblang terlihat jika birokrasi Maluku Utara benar-benar digoyang lembaga superbody negara, KPK-RI yang terus menggarap kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Gubernur Maluku Utara. Sejumlah pejabat dan pihak swasta juga ikut terseret.
Ada tiga cluster dalam kasus mega korupsi yang sungguh menggemparkan itu. Antara lain suap jual beli jabatan, lelang perizinan usaha pertambangan dan proyek infrastruktur, yang terkuak dalam fakta persidangan mantan Gubernur, serta sejumlah pejabat dan swasta.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab? Apakah hanya para terduga yang beberapa telah mendekam di balik jeruji besi? Bukankah rakyat Maluku Utara sendiri yang mengamanahkan sebagai gubernur selama dua periode?
Korupsi sudah menjadi guyonan rakyat, bahwa perbuatan koruptif terjadi apabila ada kesempatan—meminjam istilah Francis Galton (1869) sepupunya Chalres Darwin, yang pernah mengemukakan istilah bawaan atau didikan? Lantas apakah perilaku koruptif itu bawaan lahir atau didikan karena dibiasakan?
Dalam studi mutakhir tentang korupsi, Dejun Tony Kong (2014) merekomendasikan agar menggunakan teori-teori baru yang lebih transformatif. Salah satu pendekatan baru di luar dari teori hukum, ekonomi dan politik dalam kajian antikorupsi, adalah neurosains.
Menurut ahli neurosains Taufik Pasiak (2012), dalam kajian neurosains diketahui bahwa otak koruptor itu normal tapi tidak sehat. Hal senada diungkapkan Greene dan Cohen bahwa neurosains memiliki dampak transformatif dalam pencegahan korupsi.
Neurosains sendiri diartikan sebagai ilmu yang mempelajari system saraf, baik dari segi system saraf (neuroanatomi) maupun fungsi saraf (neurofisiologi), yang memiliki hubungan erat dengan karakter seseorang.
Tugas utama dari ilmu ini adalah menjelaskan perilaku manusia dari sudut pandang aktivitas yang terjadi di dalam otaknya. Oleh karena itu dalam studi antikorupsi menggunakan pendekatan neurosains ini mempelajari cara kerja otak yang meregulasi karakter manusia.
Dengan kemampuan mengatur kinerja otak secara normal akan menghasilkan fungsi optimal sehingga perilaku dapat dikontrol secara sadar dengan melibatkan dimensi emosional dan spiritual, termasuk mengontrol perilaku agar tidak koruptif.
Sedangkan korupsi secara leksikal berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus” yang berarti busuk, buruk, bejat, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Dalam konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana tertuang pada buku KPK Memahami Untuk Membasmi (2006) bentuk-bentuk korupsi dijelaskan pada 13 Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001, terdiri dari 30 jenis.
Dari 30 jenis itu dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) bentuk antara lain merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Untuk mencegah 7 bentuk perilaku koruptif tersebut, ada 9 nilai antikorupsi yang telah dirumuskan oleh KPK, yaitu jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani dan adil.
Kesembilan nilai antikorupsi tersebut mestinya menjadi pegangan rakyat dalam menentukan pilihan.
Saat ini momentum lima tahunan sudah dekat di depan mata. Rakyat kembali mengambil alih kuasanya di Pilkada dengan berkesempatan menakar semua kompetitor yang telah unjuk gagasannya. Visi dan misi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur telah disampaikan pada setiap mimbar demokrasi. Namun sebagai pemilik sah kedaulatan, rakyat harusnya mampu membedakan mana kata-kata kosong dan mana arti sesungguhnya kepedulian pemimpin yang berintikan cinta terhadap daerah berjuluk Moloku Kie Raha ini.
Rakyat mesti memastikan pemimpin yang dipilih adalah pemimpin yang isi otaknya bisa mengontrol perilakunya. Artinya otak pemimpin tak sekedar normal akan tetapi juga sehat, agar mahfum terhadap sembilan nilai antikorupsi yang dirumuskan KPK.
Harapannya dengan keinsafan insani terhadap nilai-nilai antikorupsi termaktub, pemimpin yang dipilih mampu untuk mengendalikan kejujuran dalam berbicara, tanggung jawabnya sebagai pengayom, kesederhanaanya harus diguguh. Kemudian, keberanian dalam melawan kezaliman.
Selaku pemberi amanat, rakyat juga harus memastikan pemimpin yang dipilih mampu mandiri dalam mengambil kebijakan publik, tak terpengaruh oligarki, adil dalam mendistribusikan kekuasaan dan disiplin dalam pelayanan publik.
Selanjutnya, pemimpin yang dipastikan terpilih adalah pemimpin yang benar-benar bekerja keras untuk kepentingan banyak orang. Terakhir rakyat harus memastikan bahwa Gubernur Maluku Utara terpilih harus punya kepedulian terhadap seluruh rakyat di Jazirah Al-Mamlakatul Molokiah.
Semoga kita tak mengulang lagi sejarah memilih pemimpin yang kemudian menjadi batu sandungan kemajuan pembangunan dan kesejahteraan rakyat karena perilaku koruptif. Wallahualam. (***)
Penulis : M. Rifdi Umasangadji M.Pd
Rubrik : Opini
Tinggalkan Balasan